Cerita
ini muncul karena ulah SPG sombong yang menjaga pameran otomotif di
salah satu plaza di kotaku. Pada waktu itu aku dan teman-temanku
(berempat) sedang jalan-jalan ke plaza itu, lalu kami melihat ada
pameran mobil di sana. Iseng-iseng aku dan teman-teman melihat
mobil-mobil yang memang keren-keren itu, meskipun penampilan kami memang
sangat jauh dengan pengunjung-pengunjung lainnya yang rapi-rapi.
Sekalian cuci mata juga, soalnya para SPG-nya cantik-cantik dan
putih-putih serta mulus-mulus, mereka memakai rok mini yang benar-benar
serasi dengan tubuh mereka yang langsing dan tinggi, kaki mereka yang
jenjang sangat indah dipandang dari ujung kaki sampai ke paha yang
terbalut rok mini ketat warna merah. Wajah mereka yang rata-rata Indo
seperti bintang sinetron sangat menyenangkan untuk dipandang, memang
sangat cocok untuk mendampingi mobil-mobil mewah yang sedang dipamerkan.
Sambil melihat, kupegang-pegang saja mobil yang di pamerkan dan kucoba
membuka dan metutup salah satu pintunya. Tiba-Tiba.., “Mas, tolong kalau
mau lihat ya dilihat saja, jangan dipegang-pegang, nanti harus
dibersihkan lagi”, aku menoleh ke arah teguran itu berasal, ternyata
teguran tersebut berasal dari salah seorang SPG yang cantik, meskipun
aku tersinggung, aku sempat tertegun melihat paras dan body cewek SPG
yang satu ini. Wajah SPG yang ini seperti campuran Indo Belanda,
kebarat-kebaratan seperti itulah.
Masih setengah sadar, SPG itu ngomong lagi, “Tolong minggir dulu ya..
ini ada pembeli yang mau lihat”. Aku menoleh ke sekitar, “Mana
pembelinya..” pikirku, yang ada masih lihat-lihat mobil di sebelah, kali
ini aku serasa benar-benar dilecehkan oleh SPG itu, dalam pikiranku,
“Sombong sekali cewek satu ini.. padahal kan dia juga sebagai penjaga,
belum tentu bisa beli mobil itu juga.” Sambil berpikir begitu, tak
terasa aku bertatap pandang dengan cewek SPG itu, yang lebih mengesalkan
wajahnya seakan-akan melihatku sebagai makhluk yang tidak sepantasnya
berdiri di situ. Kulihat juga senyumnya yang benar-benar menyebalkan,
seolah-olah menantang dan sudah menang. Seraya tersenyum aku minggir
juga.
“Ayo, cabut!” aku mengomando teman-temanku dengan nada yang masih kesal
karena pelecehan tadi. Aku langsung mengarahkan mereka ke tempat parkir
dengan tidak menyembunyikan wajah yang kesal. Mobil Espass kami pun
meluncur. Sepanjang perjalanan, kami terdiam, teman-temanku tahu aku
masih kesal, jadi mereka agak malas ngomong.
Setelah beberapa saat Aguk yang memegang kemudi memecah kesunyian,
“Kenapa lu? masih kesal sama SPG itu?” tanyanya kepadaku. Belum sempat
aku menimpali, Bimo buka suara, “Lu nggak remas aja pantatnya, biar tau
rasa dia.” Tawa mereka berderai, tapi aku masih diam, melihat gelagatku
yang tidak bisa diajak bercanda, teman-temanku ikutan diam. Tiba-Tiba
Dodot mengeluarkan ide bagus, “Eh.. gimana kalo kita culik aja tuh
cewek!” Hatiku yang kesal ini bagaikan mendapat siraman air yang
menyegarkan, “Betul juga”, pikirku, “Biar ntar dia rasain gimana
akibatnya kalau melecehkan aku” Aku tersenyum menyeringai ke arah Dodot,
dan kami langsung memutar mobil ke arah plaza itu lagi.
Jam sudah menunjukkan pukul setengah sepuluh malam, mulai terlihat
karyawan-karyawan dari plaza tersebut keluar untuk pulang. Kami dengan
sabar menunggu di depan plaza itu sambil mengawasi orang-orang yang
keluar.
“Gimana kalau keluar dari samping pertokoan?” tanya Bimo.
“Ah.. ya berarti nasibnya beruntung”, jawabku cepat.
“Itu! itu!” Dodot setengah berteriak menunjuk ke suatu arah. Mata kita semua langsung menjelajah ke arah yang ditunjuk Dodot.
“Bagus!” pikirku ketika melihat si SPG berjalan keluar plaza untuk
mencari kendaraan. Dia bersama seorang temannya yang kelihatannya SPG
juga, sudah mengenakan sehelai kain untuk menutupi roknya yang mini,
mereka berjalan menelusuri trotoar, rupanya rute angkutannya bukan di
jalan ini. Kami segera membuntutinya pelan-pelan sampai mereka berhenti
di perempatan yang sudah dikuasai oleh banyak angkota. Mereka langsung
masuk ke salah satu bemo yang ada, begitu bemo tersebut berangkat, kami
pun langsung mengikutinya.
Sampai di sebuah jalan, yang untungnya sepi sehingga sangat mendukung
operasi kami ini, si SPG turun. Tidak sedikit pun dia menaruh curiga
bahwa sebuah mobil telah mengikuti angkutannya sejak tadi. Setelah bemo
tersebut meninggalkannya cukup jauh, kami mulai mendekati SPG itu yang
kelihatannya masih harus berjalan kaki untuk mencapai rumahnya. Tanpa
buang-buang waktu Aguk mensejajarkan mobil kami di samping SPG itu dan
Dodot langsung membuka pintu samping Espass. Kulihat SPG tersebut
terkejut melihat ada mobil yang sangat dekat dengan dirinya, dan tanpa
disadari tangan Dodot sudah merenggut tangan dan menarik tubuhnya ke
dalam mobil. “Srreekk..”, pintu samping ditutup, mobil kami langsung
melaju tanpa bekas, sementara si SPG masih kebingungan dan akan
berteriak, tetapi dengan sigap Bimo langsung menutup mulutnya sehingga
yang terdengar hanya gumaman. Si SPG mencoba meronta, namun sebuah
pukulan ditengkuknya yang diluncurkan oleh Dodot membuatnya langsung
pingsan.
Aku menoleh ke belakang, Bimo dan Dodot tersenyum memandangku
seolah-olah ingin menyatakan bahwa operasi penculikan sudah berhasil.
Kulihat kain yang menutupi rok mininya tersingkap, dan meskipun di dalam
mobil gelap, aku masih dapat melihat pahanya yang mulus. Dodot pun tak
tahan langsung memijat dan meraba paha yang mulus itu. Mobil kami
langsung meluncur ke rumah Aguk yang memang kosong dan biasa sebagai
tempat kami berkumpul.
Setelah sampai dan memarkir mobil di garasi, kami menggendong SPG yang
masih pingsan itu ke dalam kamar. Di sana kami mengikatnya pada kursi
kayu yang ada. Aku duduk di ranjang menghadap SPG yang masih lunglai itu
yang terikat di kursi kayu. Teman-temanku kelihatannya memang
menghadiahkan SPG itu ke padaku untuk diperlakukan apa saja.
“Dot.. ambilin air.” Dodot keluar kamar dan tak lama masuk dengan
segelas air yang disodorkan kepadaku. Aku berdiri dan menyiramkan
pelan-pelan ke wajah SPG itu. Ketika sadar, SPG itu terlihat sangat
terkejut melihatku di depannya, “Kamu..” katanya seraya menggerakkan
tubuhnya, dan dia sadar kalau tubuhnya terikat erat di sebuah kursi.
Kali ini aku yang tersenyum, senyum kemenangan. “Mau apa kamu?” masih
dengan sombong SPG itu bertanya setengah menghardik kepadaku. “Kalau
kamu macam-macam, aku akan teriak”, lanjutnya lagi. Aku hanya tersenyum,
“silakan saja teriak, nggak bakal terdengar kok”, kataku sambil
menyalakan tape si Aguk, kebetulan lagunya dari band Metallica,
Unforgiven, kusetel agak keras, meskipun aku yakin bahwa kamar Aguk
letaknya terisolir, jadi tidak mungkin teriakannya didengar orang lain.
Ketakutan mulai terlihat di wajah SPG itu, wajahnya yang cantik sudah
mulai terlihat memelas memohon iba. Namun kebencian di hatiku masih
belum padam, aku ingin memberinya pelajaran!
“Siapa namamu?” tanyaku dengan nada datar.
“Vera”, jawabnya.
“Ampun Mas, maafkan aku, aku disuruh boss untuk bersikap begitu”, katanya seolah membela diri.
Tidak peduli dengan pembelaan dirinya, langsung kusibakkan kain yang
menutupi roknya, lalu dengan kasar kutarik roknya hingga ke pangkal
paha. Vera menatapku ketakutan, “Jangan, jangan Mas..” ucapnya memelas
seakan tahu hal yang lebih buruk akan menimpa dirinya. Lagi dengan kasar
kutarik bajunya sehingga kursi yang didudukinya bergeser dan kancing
bajunya hampir lepas semua. Terlihat oleh kami bulatan payudara yang
masih tertutup BH berwarna putih. Tak tahan melihat itu Aguk dan Dodot
yang berdiri di sampingnya langsung meremas-meremas payudara itu. Vera
sangat ketakutan, ditengah ketakutannya dia berusaha meronta, namun hal
itu semakin meningkatkan nafsu kita. Jari-jariku langsung meraba secara
liar daerah liang kewanitaannya yang masih tertutup CD, mengelus dan
berputar-putar dengan lincah dan sekali-sekali mencoba menusuk.
“Tidakk.. tidakk..” Vera berkata lirih seolah ingin menolak takdir.
“Breett.. breett..” kubuka dengan paksa seluruh baju Vera sehingga yang
terlihat hanya BH dan CD-nya saja. “Naikkan ke atas meja”, kataku, serta
merta ketiga temanku langsung bekerja sama memegangi Vera dan
mengikatnya di atas meja. Vera meronta-ronta sekuat tenaga namun tentu
saja usahanya tidak mampu melawan tiga tenaga cowok. Sekarang dia sudah
telentang di atas meja dengan tangan terikat di sudut-sudut meja, kedua
kakinya agak menjulur ke bawah karena mejanya tidak cukup panjang, namun
kami mengikatnya secara terpisah pada dua kaki meja. Kami sendiri
posisinya sekarang di samping tubuhnya. Lalu dengan sekali tarik kulepas
BH-nya dan menonjollah dua bagian payudaranya yang cukup padat berisi.
Sekarang kami melihat sebuah tubuh yang putih mulus dan langsing dengan
tonjolan payudara yang bergoyang-goyang karena Vera masih berusaha
meronta. Karena meronta, terlihat CD-nya yang agak transparan semakin
mengetat memperlihatkan lekuk-lekuk liang kewanitaannya.
“It’s showtime!” teriakku yang disambut oleh kegembiraan teman-temanku
dan wajah ketakutan Vera. Aku langsung mengambil beberapa karet gelang,
lalu kulingkarkan di payudara Vera sampai terlihat mengeras dan merah.
“Aduhh..” erang Vera, masih kutambah penderitaannya dengan menjepitkan
jepitan yang biasa digunakan Aguk untuk alat elektronik, bentuknya
bergerigi dan terbuat dari logam tipis yang di-chrome, kujepitkan di
kedua puting susunya. “Aduhh.. ahh.. aduuhh” Vera mengerang kesakitan.
Aguk lalu memberiku sebuah alat seperti pecut, yang terbuat dari
beberapa tali tampar kecil sekitar 5 buah yang salah satu ujung-ujungnya
dijadikan satu pada sebuah pegangan dari rotan. Entah untuk apa alat
ini biasanya digunakan Aguk, pikirku, tapi peduli apa, yang penting
sekarang benda ini ada gunanya.
“Jangan.. ampunn Mas..” pinta Vera, melihat aku mengibas-ngibaskan pecut
itu. Aku tersenyum sadis, lalu tanganku kuangkat dan sebuah pecutan
kuarahkan ke payudaranya. “Ctass..” Tubuh Vera menggelinjang, dan buah
dadanya langsung bergoyang ke kanan ke kiri menahan sakit. “Aduhh..”
teriaknya sambil menitikkan air mata. Beberapa garis merah terlihat di
kedua buah dadanya, di sekitar puting.
“Lagi?” tanyaku kepada Vera, yang tentu saja dijawab dengan gelengan
kepala, “Ampunn.. ampunn tolongg..” rintihan bercampur tangis Vera
menjadi satu. Tanpa rasa iba pecut kuayun lagi, kali ini sasarannya
adalah pahanya. “Mmmpphh..” Vera menggigit bibir bawahnya menahan sakit.
Sekali lagi kuayun pecut itu, sekarang ke arah pusar, garis-garis merah
segera menghiasi tubuh Vera. Entah aku sangat menikmatinya sehingga tak
terasa sudah beberapa ayunan pecut mengarah ke tubuh Vera. Tubuhnya
terlihat bergetar, menggelinjang menahan sakit dan perih. Wajahnya yang
basah oleh air mata dan keringat sudah benar-benar menunjukkan
penderitaan. Tapi aku masih belum puas. Kulihat teman-temanku, ketiganya
tersenyum seakan memberikan dukungan kepadaku untuk terus menyalurkan
hasratku.
Kudekati telinga Vera, dia yang sudah ketakutan padaku, dia berusaha
menjauhkan kepalanya, mungkin dikiranya aku mau menggigit telinganya.
Kubisikkan sesuatu di telinga Vera, “Vera, gimana kalau kita ganti
alatnya, sekarang pakai ikat pinggang saja ya”, bisikku sambil
menyeringai sadis. Vera menunjukkan ekspresi terkejut setengah tidak
percaya bahwa dia akan menerima siksaan yang lebih hebat. “Ampun..
lepaskan saya..” ibanya meskipun tahu aku tidak akan melepaskannya.
Kubuka ikat pinggangku yang terbuat dari kulit, kulilitkan sebagian pada
telapak tanganku, Vera melirikku dengan ketakutan yang amat sangat,
nafasnya tersenggal-senggal meskipun dia sudah berusaha sekuat tenaga
untuk mengaturnya. Mungkin dengan mengatur napas dia berharap sabetan
ikat pinggangku tidak akan terlalu sakit. Kuangkat tinggi tanganku dan
kuayunkan dengan keras, Vera memejamkan matanya, saat ikat pinggangku
mendarat di pahanya terdengar meja yang ditiduri Vera agak berderit
karena tubuh Vera secara spontan bergetar keras menahan sakit. “Ahh..
ampun.. ampun.. hahh.. hahh..” Vera berkata tersendat-sendat. Kali ini
bukan hanya garis merah yang tampak, tetapi semacam jalur merah tercetak
di paha Vera.
“Ceplass.. Ceplass..” sabetan ikat pinggangku semakin liar menghujani
tubuh Vera. Vera sudah tidak bisa berkata apa-apa lagi, dia hanya
menggeleng ke kiri ke kanan menahan penderitaan yang kuberikan. Puas
dari samping, “Bagaimana kalau pukulan yang mengarah langsung ke liang
kewanitaannya?” pikirku. Lalu aku mulai menyobek CD-nya dan minta kepada
dua temanku untuk melepaskan ikatan kaki Vera dan mengikatnya kembali
pada posisi menekuk ke atas dan mengangkang, sehingga liang
kewanitaannya terbuka lebar. Vera berusaha meronta dan menutup liang
kewanitaannya dengan kakinya, namun ikatan kami cukup erat sehingga
kedua kakinya tidak bisa mengatup. Persis menghadap liang kewanitaannya,
aku mengelus-elusnya sambil tersenyum sinis. Vera mengangkat kepalanya
dan menatapku dengan pandangan nanar.
Aku mulai menjauh, ikat pinggang mulai kuputar-putar, lalu..,
“Ceplass..” ikat pinggang itu mendarat dengan tepat di bibir liang
kewanitaan Vera. Kali ini Vera meronta-ronta dengan sangat dan cukup
lama, tampaknya dia sangat kesakitan, kepalanya ditengadahkan ke atas
sembari mengguncang-guncangkan pantatnya di atas meja. Aku berjalan ke
sampingnya, “Lagi?” tanyaku seolah tak menghiraukan penderitaannya. Vera
tidak mengatakan apa-apa, kelihatannya dia sudah pasrah. Aku tersenyum
penuh kemenangan, kusentuh bibir liang kewanitaannya yang tentunya masih
pedih, Vera menggelinjang, tak peduli kugesek-gesekan jariku di liang
senggamanya, tubuh Vera terus menggelinjang. “Sakitt.. sakitt..”
gumamnya lirih.
Seolah tak peduli, kembali aku mengambil dua jepitan, dan kujepit di
kedua bibir liang kewanitaan yang memerah itu. Vera menatapku dengan
pandangan tak percaya akan kesadisanku. “Oke”, kataku, “Tidak ada lagi
pukulan..”, Vera diam saja tanpa ekspresi, “..tapi sekarang waktunya
bermain lilin”, lanjutku sambil menyunggingkan senyum. Kali ini Vera
menolehkan wajahnya yang layu, berkeringat dan basah karena air matanya.
Bisa kubaca dalam pikirannya, “Oh.. apa lagi yang akan diperbuatnya
pada tubuhku.. malangnya nasibku..”
Memang di kamar Aguk ada beberapa lilin untuk jaga-jaga jika lampu mati,
ada yang kecil dan ada juga yang besar supaya awet. Kuambil Zippo-ku,
kunyalakan satu lilin yang kecil. Lidah api menari berputar-putar
melelehkan batang lilin yang menahannya. Menembus lidah api itu, kulihat
pandangan Vera yang berharap aku hanya bercanda. Kujawab dengan
pandangan juga yang menyatakan bahwa aku serius. Segera lilin yang
kupegang kumiringkan di atas payudara Vera. Kulihat ekspresi Vera yang
memandang lekat batang lilin yang terkena nyala api, pandangannya seolah
berharap agar lilin tersebut tidak meleleh atau apinya tiba-tiba mati.
Tapi tentu saja itu tidak terjadi, yang terjadi adalah tetesan pertama
jatuh dan menetes di atas puting susu Vera sebelah kanan.
“Hhh..” Vera mendesah, punggungnya terlihat bergerak ke atas menahan
panas lilin yang meleleh. Tetesan demi tetesan bergerak jatuh, dan Vera
terlihat semakin kesakitan karena tetesan tersebut jatuh di tempat bekas
pecut dan sabetan ikat pinggangku tadi. Tiba-tiba teman-temanku ikut
bergabung, mereka semua memegang lilin bahkan tidak hanya satu tapi tiga
atau empat sekaligus. Mereka dengan gembira meneteskan ke bagian-bagian
sensitif Vera, seperti buah dada, pusar, sekitar liang kewanitaan dan
paha. Kali ini Vera seperti ular kepanasan, dia meliuk-liukkan tubuhnya
menahan panas tetesan lilin.
Seperti biasa, setelah puas pada bagian tubuh Vera, aku pun mengambil
sebuah lilin dengan diameter yang besar dan menyalakannya. Setelah
menunggu agak lama supaya lelehan lilin cukup banyak di atas lilin itu,
aku kembali mengelus-elus liang kewanitaan Vera. Vera langsung berkata,
“Tidakk.. jangan.. jangan Mas..”, aku pun tersenyum penuh nafsu
mendengar nada yang memelas itu. Tapi tetap saja lilin yang besar itu
kumiringkan di atas liang kewanitaan Vera, Vera berusaha mengelak dengan
menggeser pantatnya, “Pintar juga dia”, pikirku, tapi karena lelehan
lilin ini masih banyak, dengan leluasa aku “menaburkan”
tetesan-tetesannya ke liang kewanitaannya. Tak ayal bagaikan lahar panas
tetesan tersebut mengalir ke liang kewanitaan Vera dan mungkin ke
dalamnya.
“Errgghh..” gumam Vera, dia langsung menggoyang-goyangkan pantatnya dan
menengadahkan kepalanya menahan panas dan sakit, dengan mulutnya yang
menggigit rapat dan matanya terpejam erat. Kemudian kucoba untuk
memasukkan sebuah lilin kecil ke anusnya, sulit sekali karena anusnya
begitu rapat, aku memasukkan jariku terlebih dahulu dan
menggesek-geseknya agar anusnya membesar. “Aduh.. aduh..” ucap Vera,
tapi aku tidak peduli, setelah anusnya membesar mulai kutancapkan sebuah
lilin di anusnya. Dan ide cemerlangku muncul lagi, kunyalakan lilin
yang menancap itu dan setelah cukup lama, kutiup apinya dan kubalik,
jadi yang menancap adalah bagian yang barusan menyala. “Jess..” bunyi
panas lilin bercampur dengan cairan yang keluar dari anus Vera. Tentu
saja Vera menggeliat kesakitan, pantatnya dibentur-benturkannya ke meja
seakan ingin melepaskan lilin yang menancap di anusnya. Aku tersenyum
senang sambil kumasuk-keluarkan lilin tadi di anus Vera.
Karena sudah puas menyiksa Vera, aku kasih kesempatan kepada
teman-temanku untuk menyetubuhinya. Teman-temanku begitu gembira, mereka
langsung beraksi, sementara aku melihat pertunjukkan ini dengan
kepuasan total. Mereka melepas ikatan Vera yang sudah tidak berdaya itu,
lalu tubuhnya dibalik dan pantatnya ditarik ke atas sehingga dalam
posisi menungging. Aku melihat Vera diam saja, mungkin dia sudah capai
dan pasrah serta tidak punya harapan hidup lagi. Wajahnya yang cantik
terlihat sangat lesu dan seolah-olah siap diperlakukan apa saja. Dodot
dengan tubuhnya yang besar mulai membuka celana dan melakukan penetrasi,
langsung sodomi. Vera membelalak tak menyangka bahwa ada benda sebesar
itu yang harus masuk ke anusnya. Belum selesai dia “menikmati”
penderitaan karena ulah Dodot, Aguk langsung menyelinap ke bawah tubuh
Vera dan berusaha memasukkan batang kemaluannya ke liang kewanitaan
Vera.
Vera melolong kesakitan karena anus dan liang kewanitaannya yang sudah
lecet dan perih terkena sabetan ikat pinggang dan tetesan lilin, masih
harus bergesekan dengan batang kemaluan teman-temanku. Tubuhnya
terguncang ke depan berulang-ulang setiap kali Dodot dan Aguk
menghunjamkan batang kemaluannya. Payudaranya berguncang keras persis di
atas wajah Aguk yang dengan penuh nafsu meremas sekuatnya. Masih
tersiksa dengan keadaan begitu, Bimo mengeluarkan kepunyaannya dan minta
dikaraoke oleh Vera. Rintihan Vera menjadi tersendat-sendat karena
tersedak dan batuk, Bimo bukannya kasihan malahan dia semakin terangsang
sehingga dia menghunjamkan batang kemaluannya ke mulut dan tenggorokan
Vera berulang-ulang.
Aku tersenyum saja melihat kelakuan teman-temanku yang brutal, lalu
kudekati Vera sambil berkata, “Vera.. punggungmu masih mulus lho.. aku
cambuk ya..” Karena tidak mungkin menggunakan pecut dan ikat pinggang
sebab bisa mengenai Aguk yang berada di bawah tubuh Vera, maka aku
menggunakan rotan yang tadi sebagai pegangan untuk pecut, rotan ini
ujungnya memecah sehingga sangat cocok untuk menimbulkan rasa sakit.
Segera kuraih rotan itu dan kupukulkan berulang-ulang ke punggung Vera.
Tubuh Vera terlihat menggelinjang dan menggeliat seiring dengan
hujaman-hujaman yang diberikan oleh Dodot, Aguk dan Bimo serta siksaan
cambukan rotan dariku. Dodot yang melihat punggung Vera terkena pukulan
rotanku sangat terangsang dan segera memuntahkan maninya ke liang dubur
Vera, lalu dia pun mencabut batang kemaluannya. Karena pantatnya kosong,
atau tidak ada orang, aku pun dengan leluasa memukul pantatnya dengan
rotan. Kulihat Vera sangat menderita, pantat yang baru saja dimasuki
paksa oleh Dodot masih harus menerima siksaan rotanku.
Giliran Bimo yang ejakulasi, maninya langsung menyemprot ke tenggorokan
Vera, membuatnya menjadi sulit bernafas dan seperti mau muntah. Melihat
begitu semakin keras kupukulkan rotan ke pantatnya, bahkan ke belahan
pantatnya. Tiba-tiba Vera lunglai, kelihatannya dia tak tahan lagi
menerima siksaan kami, dia pingsan. Aguk yang belum selesai masih terus
melakukan aksinya, sehingga tubuh Vera yang pingsan itu
terguncang-guncang ke sana ke mari, akhirnya Aguk pun mencapai puncaknya
dan menyemprotkan air maninya di dalam liang kewanitaan Vera yang masih
pingsan. Aku sendiri sudah merasa puas dengan balas dendamku ini. Kami
berempat tertawa dan puas.
Kami lalu membawa tubuh Vera untuk di”buang”, sebetulnya kami ingin
menyimpannya untuk kenikmatan sehari-hari tetapi terlalu beresiko.
Akhirnya tubuh Vera kami lempar di depan plaza tempat dia bekerja. Aku
tersenyum puas karena sudah memberi pelajaran kepada SPG yang sombong
itu, tapi dalam hati aku merasa ketagihan untuk menyiksa SPG yang lain,
kusampaikan ini ke teman-temanku dan mereka semuanya setuju untuk suatu
waktu menculik dan menyiksa SPG yang lain.